Rabu, 27 Oktober 2010

INTERNALISASI ISLAM DALAM ARSITEKTUR JAWA

INTERNALISASI ISLAM
DALAM ARSITEKTUR JAWA


MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Kebudayaan Jawa
Dosen Pengampu: Drs. H. Anasom, M.Hum.











Disusun Oleh :

IDA ASMARA
073111080


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2009
INTERNALISASI ISLAM DALAM ARSITEKTUR JAWA

I. PENDAHULUAN
Islam Jawa sering dipandang sebelah mata, sering disebut dengan Islam kurang atau keislaman seseorang belum sepenuhnya. Padahal arti Islam Jawa itu sendiri berakar pada tradisi dan teks suci Islam itu sendiri.
Dalam memahami keislaman orang Jawa memandang penting sebagai pola hubungan simbolik antara teks suci dan situasi historis umat Islam. Sebagai produk atau hasil budaya orang Jawa banyak sekali, di antaranya arsitektur di Jawa. Penulis akan mencoba memaparkan hasil internalisasi Islam dalam arsitektur Jawa. Karena arsitektur Jawa merupakan bentuk kreativitas Islam Jawa dalam mengaktualisasikan teks.

II. POKOK PERMASALAHAN
A. Sejarah arsitektur dalam Islam
B. Pola internalisasi arsitek Islam Jawa

III. PEMBAHASAN
A. Sejarah Arsitektur dalam Islam
Dalam sejarah peradaban Islam, masjid dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam Islam, yakni dengan dibangunnya Masjid Quba oleh Rasulullah SAW sebagai masjid yang pertama.
Bentuk Masjid Quba sangatlah sederhana, dengan lapangan terbuka, dan penempatan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, dan di tengah-tengah lapangan ada sumber air untuk bersuci. Itulah awal mula munculnya arsitektur Islam di dunia.
Di berbagai tempat di mana Islam tumbuh, masjid telah menjadi bangunan yang penting dalam syiar Islam. Sehingga masjid dijadikan sebagai sarana penanaman budaya Islam sehingga dalam pengertian ini terjadilah pertemuan dua unsur dasar kebudayaan, yakni kebudayaan yang dibawa oleh saudagar atau para penyebar Islam yang terpatri oleh ajaran Islam dan kebudayaan lama yang telah dimiliki oleh masyarakat setempat.
Masjid sebagai arsitektur Islam merupakan manifestasi keyakinan agama seseorang. Oleh karenanya tampilan arsitektur Islam tidak lagi hanya pada masjid, tetapi telah tampil dalam bentuk karya fisik yang lebih luas.

B. Pola Internalisasi Arsitektur Islam Jawa
Sebelum Islam masuk di Indonesia, terlebih dahulu orang Indonesia khususnya orang Jawa sudah menyembah roh-roh nenek moyang. Setelah itu datanglah penyebaran agama Hindu dan Buddha. Dan terjadilah akulturasi dalam bidang arsitek bangunan antara hasil karya arsitek Jawa dengan arsitek Hindu dan Buddha. Bangsa Indonesia khususnya orang Jawa telah mempunyai hasil karya bangunan untuk pemujaan kepada roh nenek moyang, misalnya punden berundak, dolmen, dan menhir. Candi Borobudur adalah bentuk bangunan punden berundak yang telah diberi warna dan isi agama Buddha. Bangunan menhir berakulturasi dengan budaya Hindu yaitu untuk tempat penulisan prasasti yang memuat peristiwa sakral.








Gambar 1a. Candi Borobudur, wujud akulturasi


Internalisasi Islam dalam arsitektur di Jawa sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal Islam masuk di Jawa. Mengingat bahwa salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui karya seni arsitektur, di antaranya adalah bangunan masjid.
Sementara itu, sebelum Islam masuk di Jawa masyarakat Jawa telah memiliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli Jawa maupun yang telah dipengaruhi oleh Hindu dan Buddha di mana di Jawa telah berdiri berbagai jenis bangunan seperti candi, keraton, benteng, kuburan, meru, rumah joglo, relief pada bangunan gapura, tata ruang desa/kota yang memiliki konsep mencapat, hiasan, tokoh wayang pada rumah, kuburan, dan padepokan.
Agar Islam dapat diterima sebagai agama orang Jawa, maka simbol-simbol Islam hadir dalam bingkai budaya dan konsep Jawa, yang kemudian memunculkan kreativitas baru sebagai hasil berasimilasinya dua kebudayaan dan sekaligus sebagai pengakuan akan keberadaan keunggulan muslim Jawa dalam karya arsitektur.
Adapun arsitek bangunan di Jawa antara lain:
1. Masjid
Misalnya Masjid Kudus, bentuk bangunan masjid yang bercorak khas Jawa yang lain adalah bangunan masjid yang memakai bentuk atap tingkat/tumpang, dan pondasi persegi, mimbarnya terdapat pola ukiran teratai.
Bentuk bangunan masjid dengan model atap tingkat tiga diterjemahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh tiga aspek, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.
Di Bali atap tumpang masih dipakai untuk kuil (meru). Corak baru pada bangunan masjid pada zaman madya adalah tidak adanya menara kecuali Masjid Kudus dan Masjid Banten.
Adapun menara Masjid Kudus yang dibangun oleh Sunan Kudus dengan ciri yang khusus dan tidak didapatkan pada bentuk bangunan masjid di manapun, bentuk menara yang mirip dengan kuil (meru) pada bangunan Hindu, lawang kembar pada bangunan utama masjid yang kesemuanya bercorak bangunan Hindu lm bentuk susunan bata merah tanpa perekat yang mengingatkan pada bentuk bangunan kori pada kedhaton di kompleks kerajaan Hindu. Panggilan waktu shalat pada zaman itu menggunakan alat tradisional yaitu kentongan dan bedug. Menara Masjid Kudus sudah berbentuk candi Jawa Timur yang beratap tumpang.
Tetapi bagaimanapun bentuk masjid, secara mendasar sama dengan di negeri Arab, India, Mesir, dan sebagainya. Di Jawa ada akulturasi dengan bentuk atap candi yang selalu bersusun.








Gambar 1b. Gambar 1c.
Masjid di Taluk Masjid Banten
beratap tumpang beratap tumpang

2. Makam
Di Jawa, makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak arsitekturnya terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana dengan hanya ditandai batu nisan seperti makam Fatimah binti Maimun, atau makam Maulana Malik Ibrahim. Adapula yang diberi cungkup dan diberi hiasan-hiasan dan kelambu putih seperti makam Sunan Kudus, Raden Patah, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Giri, dan Sunan Ampel, dan ada pula makam yang dikijing.
3. Keraton
Keraton merupakan pusat pemerintahan yang ditempati oleh raja-raja yang memerintah waktu itu. Pengaturan bangunan keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelesaikan kehidupan warga masyarakat dengan jagat raya itu.
Pengaturan bangunan dilakukan dengan pola tengah, yang berarti pusat, sakral, dan magis, diapit oleh dua lainnya, yang terletak di depan dan belakangnya atau kanan dan kirinya.
Biasanya dalam penataan tata kota atau tata ruang sebuah wilayah, keraton selalu mempunyai alun-alun dan dekat dengan penjara, masjid, serta perkampungan sekitar keraton disebut kauman, serta dekat pasar.
Misalnya Keraton Yogyakarta, bentuk bangunannya di depan ada pendopo yang sering digunakan untuk menampilkan kesenian, misalnya sendratari, pewayangan, gamelan. Selain itu juga 1 tahun sekali keraton dibuka untuk khalayak umum tepatnya peringatan Maulud Nabi tanggal 12 Rabiul Awal diadakan pasar malam yang sering disebut “Sekaten”. Makna Sekaten yaitu 2 syahadat atau dalam bahasa Jawanya syahadatain. Sekaten ini melambangkan rukun Islam yang pertama yaitu membaca syahadat.
4. Tamansari
Tamansari merupakan tempat pemandian para putri, ratu, dan selir raja. Arsitekturnya menyerupai kuil Hindu dan di pintu depannya terukir ukiran khas Jawa dan ada wajah dewa yang bergigi taring, serta kaligrafinya.
Selain itu ada terowongan jalan yang menghubungkan antara pantai selatan dengan keraton. Sampai saat ini pintu itu telah ditutup oleh Sultan Hamengku Buwono X.
Ada tempat pemujaan dan tempat persemedian di sebelah barat Tamansari tepatnya pintu keluar dari terowongan itu. Tempat itu sering disebut tempat persembahyangan para raja dan punggawa-punggawa keraton. Itu merupakan akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan Jawa karena di tengah-tengah ada 5 tangga yang menghubungkan tempat persembahyangan itu. Lima tangga itu mengartikan 5 rukun Islam. Setiap tangganya mengarah pada arah mata angin. Tempat persembahyangan ini disebut “Kubah Tamansari”.
5. Benteng
Benteng ini sering digunakan kirab pada malam 1 Suro, yaitu mengelilingi benteng bersama-sama sambil berdoa, dipercaya orang yang melakukannya akan terhindar dari semua penyakit di bulan Suro.

IV. KESIMPULAN
Secara umum arsitektur Islam Jawa dapat dikelompokkan dalam bentuk:
1. Bangunan sakral atau yang disakralkan, seperti masjid dan makam.
2. Bangunan yang dianggap sekuler atau profan seperti benteng, keraton, dan tata kota, tamansari (public service) dan sebagainya.
Dari deskripsi tentang bentuk arsitektur Islam Jawa di atas tercermin cara Islam mensosialisasikan diri di Jawa, yang memperlihatkan ikhtiar Islam untuk masuk di Jawa secara kultural, bukan dengan pemaksaan dan kekerasan.
Berbagai bentuk arsitektur tersebut juga dijadikan sebagai media penyampaian pesan Islam sehingga di dalam melihat arsitektur Islam yang cenderung disebut orang sebagai suatu sinkretisme harus dilihat esensinya yang hakiki bukan pada bentuk atau wadahnya. Oleh karenanya bentuk arsitektur Jawa Islam yang sering dianggap sinkretis tersebut harus dilihat sebagai sesuatu yang tidak final, tetapi sebagai sesuatu yang masih terus beradaptasi dengan ruang dan waktu, di mana Islam hadir sebagaimana sikapnya yang telah ditunjukkan pada masa awal sosialisasi Islam di Jawa.
Berangkat dari hal tersebut, maka pada saat sekarang – dengan tidak mengurangi pelestarian nilai-nilai budaya pada arsitektur Jawa Islam kuno – kita masih bisa dan terus melakukan strategi pengembangan Islam dengan melakukan pemaduan dengan kemajuan teknologi arsitektur sepanjang masih fungsional, mensimbolkan pesan Islam dan tidak berbicara dalam tataran akidah. Dan tentu ini tidak hanya berlaku untuk kasus di Jawa saja.

V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini penulis susun dengan harapan dapat bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya. Penulis sadar masih banyak kesalahan dalam diri penulis dalam penyusunan makalah ini karenanya penulis mohon kritik dan saran yang konstruktif demi kemajuan yang lebih baik di masa yang akan datang.












DAFTAR PUSTAKA


Djoened P., Marwasi, dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Farida, Jauharotul, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media.
Sukardi, J., Sejarah Nasional, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
Sunarto, P., dan Siti Waridah, Sejarah Nasional dan Umum, Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Woyowasito, Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Kalimosodo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar